Mulutmu harimaumu. Begitulah kata pepatah. Artinya, segala perkataan yang terlanjur kita keluarkan apabila tidak dipikirkan terlebih dahulu akan dapat merugikan diri sendiri. Kita sering mendengar istilah tersebut. Maksudnya, kita harus menjaga mulut dan tutur kata karena bisa jadi bagaikan harimau galak menerkam balik kepada diri kita sendiri apabila yang keluar dari mulut kita adalah ‘bahasa yang kelewatan’.
Sering kita mengatakan sesuatu, namun setelah itu kita justru menyesal telah mengatakannya, sehingga kita harus meminta maaf kepada orang lain karena telah mengatakan hal-hal yang tidak penting atau menyakiti hati mereka. Bahkan komentar yang diucapkan sambil berlalu atau candaan sederhana pun bisa menjadi rumor tidak menyenangkan dan penghinaan yang mengerikan. Berapa banyak fitnah terlontar yang melibatkan lidah yang biasanya dimulai dengan ucapan terkenal: “Ada yang bilang..” atau “Katanya sih..”?!
Para wanita dianggap memiliki kecerdasan literal lebih dibandingkan pria, sehingga membuat mereka senang berbincang dan kadang justru berbuat ghibah. Merupakan hal vital untuk mengingat bahwa ghibah dan fitnah adalah hal yang haram. Allah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan prasangka (kecurigaan), sesungguhnya sebagian dari prasangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (QS.Al-Hujurat: 12)
Bukan hanya karena hal tercela itu mengganggu masa depan kita di akhirat, tapi juga membuat tidak nyaman orang-orang di sekitar kita. Dapat menimbulkan permasalahan di berbagai tempat yang mungkin tidak pernah kita bayangkan untuk terjadi apabila kita tidak berhati-hati dalam berbicara. Ini mengingat, membicarakan kejelekan (aib) saudara dan saudari kita adalah hal terlarang; baik itu benar atau tidak.
Abu Hurairah menegaskan bahwa Rasulullah bertanya, “Tahukan kalian apa itu ghibah?” Para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda, “Yaitu kalian menyebut saudara kalian dengan hal-hal yang tidak dia senangi.” Lalu seseorang bertanya, “Bagaimana pendapat engkau apabila yang aku katakan itu ada pada diri saudaraku yang aku ceritakan itu?” Beliau menjawab, “Apabila yang engkau ceritakan itu ada pada diri saudaramu, maka engkau telah melakukan ghibah kepadanya. Dan apabila yang engkau katakan itu tidak ada pada diri saudaramu maka engkau telah mengada-ada tentangnya (memfitnahnya).”
Kata-kata bukan hanya ‘sekedar kata-kata’. Lebih dari itu, memiliki bobot yang mempengaruhi interaksi kita dengan orang lain. Kata-kata bisa dengan mudah meluncur dari bibir, namun ternyata sulit untuk dikembalikan lagi. Dengan demikian, takutlah kepada Allah, cintai sesama muslim, dan jagalah lidah. Hal ini sebagaimana sabda Rasul, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah berbicara yang baik atau diam.” (HR. Al-Bukhari).
Kendati demikian, memang dalam kondisi-kondisi tertentu, Islam membolehkan ghibah. Seperti, meminta pertolongan untuk mengubah kemungkaran dengan cara menceritakan hal-hal buruk orang lain kepada seseorang yang dianggap bisa mengubahnya. Lalu orang yang dizalimi bisa menceritakan kepada hakim tentang kezaliman seseorang. Bercerita kepada mufti untuk meminta fatwa. Kemudian memperingatkan kaum muslimin dari kejahatan seseorang. Dan tidak berdosa apabila kita menceritakan seseorang yang terang-terang berbuat dosa. Di luar hal-hal di atas, maka ghibah dilarang. Wallahu ta‘ala a’lam bishshowab.
No comments:
Post a Comment