Sunday, March 11, 2012

SYAKHSHIYAH ISLAMIYAH(KEPRIBADIAN ISLAM)


“Kalian adalah umat terbaik yang dikeluarkan kepada manusia. Kalian menyuruh yang maruf dan mencegah kemungkaran. Dan kalian beriman kepada Allah.” (Q.S. Ali Imran: 110)
Demikian firman Allah, yang seharusnya diusahakan oleh ummat Islam perwujudannya, yakni menjadi ummat terbaik, ummat terunggul. Berkemampuan melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Tapi, faktanya sekarang ini masih jauh dari harapan.


Tanpa menutup mata terhadap gejala kebangkitan di sana-sini yang mulai nampak, secara umum nasib ummat Islam tidak menggembirakan. Ummat dan negeri-negeri Islam, sama sekali tidak berdaya menyelesaikan problemanya sendiri. Kaum muslimin –apapun motifnya- kenyataannya harus minta tolong orang lain untuk mengurus dan menyelesaikan rumah tangganya sendiri.

Mengapa itu dapat terjadi? Padahal Rasulullah saw jauh-jauh sudah menandaskan, ”Islam adalah tinggi, dan tidak ada yang lebih tinggi dari Islam.” Atau justru gambaran yang diberikan Rasulullah saw, akan datangnya suatu masa di mana ummat Islam laksana makanan yang dijadikan rebutan orang-orang kelaparan, sudah terbukti? Wallahu A’lam. Tapi jika benar, gejala penyebab yang telah melanda ummat yaitu, cinta dunia dan takut mati.

Kenyataan lain, ummat selama ini merindukan pemimpin yang besar dan tangguh. Lihatlah, betapa ummat menyambut antusias tatkala ada kabar bahwa ada orang “besar” masuk Islam. Saat hal itu terdengar, kontan ummat Islam melupakan dosa-dosa orang itu kepada ummat Islam sebelumnya. Berubah menjadi harapan, bahwa ia mau dijadikan panutan dan harapan perbaikan.

Haruskah munculnya pribadi-pribadi besar itu ditunggu saja. Tidak mungkinkah ia ditumbuhkan dari kalangan ummat Islam itu sendiri. Mengapa tidak? Ummat Islam pernah melahirkan orang-orang sekaliber Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar bin Khathab, Ali r.a., Shalahudin Al Ayyubi, Imam Syafi’i, Al Biruni, Hasan Al Banna dll. Di Indonesia pun pernah muncul sosok-sosok pribadi yang mengagumkan. Baik kawan maupun lawan segan padanya. Tengoklah kebesaran pribadi Wali Songo, Hasyim Asy’ari, atau Hamka, dan ribuan pribadi lain yang tak mungkin disebut di sini.

Mengapa sejarah telah memunculkan mereka. Sementara kini ummat setengah mati merindukan orang-orang macam itu. Yang jelas, mereka tidak muncul begitu saja. Dengan kata lain, potensi dan proses perjalanan hidup telah menempa mereka. Jadi, keduanya –potensi dan pengembangan- diperlukan untuk membentuk ‘sosok pribadi tangguh’. Pepatah mengatakan, seorang pemimpin memang tidak bisa dibuat, apalagi dikarbit. Tapi, ia mesti muncul dari proses yang panjang, melalui latihan-latihan dan penempaan diri, dalam arena kehidupan.

Harapan akan tinggal harapan, jika tidak ada upaya melakukan langkah nyata: membentuk sebuah sistem yang kondusif dan usaha yang terus menerus demi lahirnya sosok-sosok pemimpin ummat di masa datang. Padahal kita tahu ada peluang untuk itu.
pemimpin ummat di masa datang. Padahal kita tahu ada peluang untuk itu.
Pengertian Syakhshiyah (Kepribadian)

Kepribadian atau dalam bahasa Arab disebut Asy-Syakhshiyyah, berasal dari kata syakhshun. Artinya orang, seseorang, atau pribadi. Kepribadian bisa diartikan jati diri seseorang (haqiiqatu asy-syakhshi). Kepribadian seseorang ditentukan oleh cara berfikir (aqliyyah), yaitu cara seseorang memikirkan sesuatu berdasarkan suatu standar tertentu atau bagaimana seseorang mengkaitkan fakta dengan informasi sebelumnya (dan sebaliknya) berdasarkan suatu standar tertentu dan cara berbuat (nafsiyah), yaitu aktivitas untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya
Unsur Pembentuk Kepribadian


Pribadi pada dasarnya hasil bentukan antara unsur utama dalam diri manusia. Yaitu, unsur pemikiran atau pola pikir (aqliyyah) dan sikap kejiwaan (nafsiyah). Kualitas serta corak pemikiran serta kejiwaan seseorang, menentukan ketinggian syakhshiyyah (pribadi) seseorang. Karena itu pribadi manusia tidak ada hubungannya dengan penampilan fisik seseorang, Kecantikan atau ketidakcantikan perempuan tidak ada hubungannya tinggi-rendah pribadinya.

Nafsiyah adalah suatu cara bagaimana seseorang memenuhi kebutuhannya yang berdasar pada kaidah tertentu. Dan aqliyah adalah bagaimana seseorang berfikir –yaitu memadukan antara informasi dan fakta berdasarkan suatu kaidah tertentu. Kaidah itulah yang disebut dengan aqidah, yang akan mendasari pembentukan syakhshiyah pada seseorang.

Syakhsiyah Islamiyah terbentuk dari aqliyah Islamiyah (pola pikir Islam) dan nafsiyah Islamiyah (sikap jiwa Islami). Artinya, seseorang dikatakan memilikii syakhshiyah Islamiyah, jika dalam dirinya terbentuk aqliyah dan nafsiyah yang Islami.

Dikatakan memiliki aqliyah Islamiyah, jika ia berfikir secara Islami. Setiap ide atau informasi yang ia terima, di-qiyas-kan atau distandarisasikan dengan aqidah dan pemikiran-pemikiran Islam. Dan ia dikatakan memiliki nafsiyah Islamiyah, disaat muncul kecenderungan untuk melakukan suatu perbuatan dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya, ia pertimbangkan dengan landasan aqidah Islam. Tidak begitu saja lepas kontrol, atau memakai alat pertimbangan lain, berupa ide-ide yang tidak Islami.

Oleh karena itu, aqidah Islam menjadi dasar pembentukan syakhshiyah Islamiyah. Prosesnya, seseorang yang telah memiliki aqidah Islam, -tentu melalui pemahaman, bukan sekedar taqlid buta- selanjutnya akan memfungsikan aqidah itu dalam pembentukan aqliyah dan nafsiyahnya. Caranya, setiap ia mendapat ide atau informasi, ia akan mengukurnya dengan aqidah Islam. Demikian juga kala ia terdorong untuk melakukan suatu perbuatan, demi memenuhi kebutuhan hidupnya.

Contohya, di saat ia mendapat pemikiran, bahwa ada kebolehan membungakan uang, asalkan untuk menolong rakyat, bukan untuk menjerat leher, atau bunga pinjaman bersifat produktif, bukan konsumtif. Kemudian ia mengecek dan menstandarisasikannya dengan dalil-dalil atau nash yang ada, maka berarti ia memiliki aqliyah Islamiyah. Tapi, jika kemudian menggunakan dasar pemikiran, bahwa di situ ada keuntungan yang dapat diambil, sehingga boleh dijalankan, berarti dia berfikir tidak Islami. Jika hal-hal seperti itu menjadi kebiasaan sehari-hari, berarti ia tidak memiliki pola pikir Islam (aqliyah Islamiyah).
Contoh nafsiyah Islamiyah, seseorang mempunyai potensi internal berupa dorongan seksual (dawafi’ul jinsiyah). Suatu saat gharizahnya bangkit dan menuntut pemuasan. Jika pada saat itu hukum-hukum Islam masih menjadi pertimbangan untuk melakukan suatu tindakan, maka berarti di dalam dirinya masih ada sikap jiwa Islam (nafsiyah Islamiyah). Demikian juga di saat muncul keinginan-keinginan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, di saat ia merasa lapar, haus, ingin memiliki sesuatu, ingin berkuasa, dan lain-lain. Ada atau tidaknya nafsiyah Islamiyah, ditentukan oleh ada tidaknya tindakan untuk mendasari setiap kecenderungan (al muyuul)-nya dengan Islam.

Jadi, seseorang dikatakan memiliki syakhshiyah Islamiyah, jika ia memiliki aqliyah dan nafsiyah yang Islami, lepas dari kuat atau lemahnya syakhshiyah Islamiyah yang dimilikinya. Setiap orang yang berfikir atas dasar Islam dan menjadikan nafsunya tunduk di bawah aturan Islam, berarti ia memiliki syakhshiyah Islamiyah. Tak jadi soal apakah ia seorang yang taat luar biasa kepada Allah SWT –menjalankan amalan fardhu dan sunnah sebanyak-banyaknya-, atau ia sekedar menjalankan yang fardhu dan menjauhi yang haram (pas-pasan).

Tetapi perlu dicatat, Islam tidak menganjurkan ummatnya memiliki kepribadian Islam yang pas-pasan. Yang dibutuhkan Islam adalah kepribadian yang tangguh, kuat aqidahnya, tinggi tingkat pemikirannya, dan taat mengerjakan ajaran-ajaran Islam, bukan pribadi yang laksana buih, mudah berubah, gampang goncang dan rapuh. Pribadi-pribad semacam ini tidak akan tahan lama. Apalagi menghadapi tantangan zaman seperti sekarang ini. Ia akan mudah lenyap ditelan masa.

Metode Memperkuat Syakhshiyah Islamiyah

Memang terlalu sederhana jika kita hanya bicara soal ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah pada seseorang. Yang lebih penting bagaimana membentuk syakhshiyah Islamiyah yang kuat dan tangguh, atau pribadi muslim yang cerdik, cekatan, tawadhu, istiqomah dan tawakal. Maka syakhshiyah yang terbentuk, jangan dibiarkan apa adanya saja. Jangan disia-siakan apalagi dihancurkan. Pribadi harus diperkuat, ditumbuhkan dan dikembangkan.

Caranya, dengan meningkatkan kualitas aqliyah dan nafsiyah Islamiyah. Kualitas aqliyah Islamiyah ditingkatkan dengan menambah perbendaharaan khasanah keilmuan Islam (tsaqofah Islamiyah). Sedangkan kualitas nafsiyah Islamiyah ditingkatkan dengan melatih diri melakukan ketaatan, menjalankan ibadah-ibadah yang diperintahkan Allah SWT. Dengan demikian syakhshiyah Islamiyah akan meningkat terus-menerus, seiring dengan bergulirnya waktu. Semakin tua usia, semakin meningkat kualitas pribadi yang dimiliki. Pemikiran Islamnya bertambah cemerlang, jiwanya semakin mantap, dan ia semakin dekat dengan Allah SWT.

Karena itu, Islam memerintahkan setiap muslim agar memiliki semangat mencari ilmu, kapan dan di manapun. Dengan perbendaharaan ilmu-ilmu Islam yang cukup, diharapkan ia akan mampu menangkal semua bentuk pemikiran yang merusak dan bertentangan dengan Islam. Selembut apapun pemikiran yang merusak itu, akan mampu ia tangkal. Juga dengan itu diharapkan ia akan mampu mengembangkan keilmuan Islam. Atau, jika mungkin, ia akan mencapai tingkat mujahid atau mujaddid. Allah mengajarkan doa kepada kita :
“Katakanlah: Ya Rabb, tambahkanlah ilmu kepadaku” (Q.S. Thahaa: 14)

Untuk memperkuat nafsiyah Islamiyah, Islam memerintahkan setiap muslim mengerjakan amalan-amalan fardhu dan sejauh mungkin menghindari hal yang haram. Juga Islam menganjurkan setiap muslim agar selalu menyuburkan amalan-amalan sunnah, menjauhi hal-hal yang makruh dan dengan sikap wara’ meninggalkan yang subhat. Jika di kerjakan semua itu, nafsiyah menjadi kuat dan mampu menolak setiap kecenderungan yang bejat dan bertentangan dengan Islam. Allah berfirman dalam sebuah hadits Qudsi :
“... dan tidaklah bertaqarrub (beramal) seorang hamba-Ku dengan seseuatu yang lebih Aku sukai seperti bila ia melakukan amalan fardhu yang Aku perintahkan atasnya, kemudian hamba-Ku senantiasa bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, sehingga aku mencintainya....” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah)
Juga firman Allah SWT :
“Maka berlomba-lombalah kamu dalam mengerjakan kebajikan” (Q.S. Al Baqarah: 147)
Rasulullah bersabda:
“Bagi setiap muslim menjadi keharusan atasnya shadaqah. Abu Musa bertanya: ‘Bagaimana bila ia tidak mendapati sesuatu untuk shadaqoh?’ Rasul menjawab: ‘Ia harus berbuat dengan kedua tangannya, yang dapat mendatangkan manfaat untuk dirinya, kemudian ia bershadaqoh.’ ‘Bagaimana bila ia tak bisa berbuat begitu?’ Jawab Rasul: ‘Ia harus beramar ma’ruf dan mengajak kepada kebajikan.’ ‘Bagaimana bila ia tak kuasa melakukan hal itu?’ Rasul menjawab: ‘Menahan diri dari keburukan (berbuat buruk) adalah shadaqah’” (HR. Bukhari dari Abu Musa).
Tapi perlu dicatat, perintah dan anjuran Allah kepada kaum muslimin itu adalah berkenaan dengan ‘upaya peningkatan kualitas’ syakhshiyah Islamiyah. Bukan berkaitan dengan ‘ada atau tidaknya’ syakhshiyah Islamiyah. Sebab dengan hanya menjadikan aqidah Islam sebagai tolok ukur bagi pemikiran dan kecenderungan, berarti ia telah memiliki syakhshiyah Islamiyah, terlepas apakah kuat atau tidak.

Perlu diwaspadai adanya kekeliruan yang sering kali muncul di kalangan kaum muslimin, yaitu gambaran yang salah, bahwa sosok pribadi muslim, adalah laksana malaikat. Tak pernah salah dan suci dari segala dosa. Padahal tak akan pernah ada orang seperti itu, selain Nabi dan Rasul. Semua manusia pernah berbuat dosa. Persepsi seperti tadi bisa berbahaya. Jika ia mempunyai gambaran seperti itu, dan ia tidak menemukan orang yang sesuai dengan bayangannya di tengah masyarakat, ia akan kecewa. Apalagi di saat ia menjumpai, ternyata orang yang dikagumi selama ini toh bisa juga salah.

Dengan demikian, telah jelas bahwa pembentukan syakhshiyah Islamiyah dimulai dengan penetapan aqidah Islam dalam diri seseorang, lalu difungsikan sebagai tolok ukur (miqyas) dalam setiap aktivitas berfikir dan pemenuhan kebutuhannya. Kesalahan pada manusia dapat saja terjadi. Suatu saat pemikirannya dapat terlepas dari aqidah, demikian juga kecenderungannya. Ia mungkin lalai, atau ia tidak tahu tentang soal itu. Apakah benar atau salah, halal atau haram.

Allah SWT telah memperingatkan, agar kita tidak mengikuti hawa nafsu. Firman-Nya :
“(Dan) janganlah kamu mengikuti hawa nafsu. Sebab ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah” (QS. Shaad: 26)
“Barangsiapa yang menghukumi tidak berdasarkan ketentuan Allah, maka mereka itulah orang-orang fasiq” (QS. Al Maidah: 47)
“Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan hati mereka. Dan Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang yang fasiq” (QS. Ash Shaaf: 5)
Seseorang yang benar-benar memiliki syakhshiyah Islamiyah yang tangguh, akan tampil di tengah –tengah masyarakat dengan sifat-sifat khas dan unik. Ia akan muncul dengan sifat-sifat yang menonjol. Dimanapun ia berada, ia akan menjadi titik perhatian, karena ketinggian ilmu dan kekuatan jiwanya. Allah SWT menggambarkan sosok-sosok pribadi muslim itu dalam berbagai ayat Al Quran, antara lain:
“Muhammad itu Rasul Allah dan orang-orang yang bersamanya (shahabat) bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi saling berbelas kasih sesama mereka, engkau melihat mereka ruku dan sujud mengharap karunia Allah dan keridhoan-Nya. Tanda-tanda mereka nampak pada muka mereka dari bekas sujud” (QS. Al-Fath: 29)
“Dan orang-orang yang pertama-tama masuk Islam dari kalangan Muhajirin dan Anshor dan orang-orang yang megikuti meraka dengan baik, Allah ridlo kepada mereka dan mereka pun ridlo kepada Allah” (QS. At-Taubah: 100)
Begitu juga sebagaimana yang tercantum pada QS. Al-Mukminun 1-11, QS. Al-Furqon 63-74, QS. At-Taubah 89, dan lain-lain.

Sifat-sifat khas pribadi muslim itu tidak ada kaitannya dengan penampilah fisik seorang mukmin. Tapi bukan berarti juga Islam mengabaikan penampilan fisik. Islam menganjurkan, agar setiap muslim memperhatikan dandanan, penampilan, pakaian, dan menggunakan wewangian seperlunya saat bergaul dengan sesama. Rasulullah bersabda :
“Jika kamu mengunjungi saudara-saudaramu, maka perbaikilah kendaraanmu dan perindahlah pakaianmu, sehingga seolah kalian bagaikan tahi lalat (kesan keindahan) di antara manusia. Sesungguhnya Allah tiada menyukai hal-hal yang buruk” (HR. Abu Daud).
“Suatu ketika Rasulullah saw melihat seorang lelaki yang rambutnya acak-acakan. Maka Rasulullah berseru: ‘Tidakkah ia menemukan sesuatu untuk merapikan rambutnya?’“ (HR. Imam Malik dalam “Al Muwaththo”, Ahmad dari Jabir r.a. )
“Hendaklah kamu menggunakan ‘itsmad’ (sejenis celak), sebab ia bisa menjernihkan mata dan menyuburkan bulu mata” (HR. Turmudzi).
Jadi, semua penampilan fisik tidak ada kaitannya dengan pembentukan syakhshiyah Islamiyah. Juga bukan merupakan sifat-sifat khas pribadi muslim, tetapi semata-mata penampilan (performance) yang memerlukan perawatan.

Unsur-unsur Pelemah Syakhshiyah Islamiyah

Seorang muslim adalah manusia biasa, ia bukan malaikat dan bukan iblis. Karena itu wajar jika kadang-kadang melakukan perbuatan haram, atau malas mengerjakan perintah-perintah Allah. Sekali, dua kali atau beberapa kali bisa saja itu terjadi pada dirinya, mungkin ia lalai. Bisa juga ia tidak tahu, bahwa perbuatan itu bertentangan dengan Islam dan sifat-sifat mulia seorang pribadi muslim. Atau mungkin setan telah merasuk dalam dirinya dan nafsu telah mencengkramnya, sehingga ia terjerumus dalam perbuatan dosa. Sehingga seseorang yang melakukan penyelewengan terhadap perintah dan larangan Allah, dipandang sebagai orang yang bermaksiyat kepada Allah. Di hari kiamat nanti, ia akan disiksa karena melakukan perbuatan itu atau dengan kata lain orang tersebut lemah syakhsyiyahnya.

Oleh karena itu kepribadian seorang muslim tidak besifat langgeng, yang senantiasa melekat pada diri seorang muslim, karena kadang-kadang manusia khilaf, tergoda syetan atau lalai, sehingga terdapat kecacatan dalam tingkah lakunya. Memang benar bahwa manusia berbuat senantiasa sesuai dengan pemahamannya, tetapi pemahaman tidak selalu terikat dengan aqidahnya. Kadangkala pemahaman itu terlepas dari ikatan aqidahnya.
Ada tiga kemungkinan yang mengakibatkan perbuatan manusia itu menyimpang dari aqidahnya. Pertama, manusia itu lemah, ia terkadang lengah dan melalaikan ikatan pemahaman dengan aqidahnya. Kedua, kadang ia tidak tahu bahwa pemahaman yang dimilikinya bertentangan dengan aqidah Islam. Ketiga, syetan beroperasi di hatinya sehingga ia berbuat melampaui batas, terlepas dari kontrol aqidahnya.Hal inilah yang akan memperlemah syakhsyiyyah seseorang dari sisi aqliyahnya.

Sedangkan unsur pelemah dari sisi nafsiyah (tingkah laku) apabila seseorang tersebut tidak senantiasa mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan banyak melakukan amalan-amalan wajib dan sunnah, menjauhi yang makruh atau pun yang syubhat dengan penuh ketaatan kepada Allah SWT.

Oleh karena itu seorang muslim wajib senantiasa menjaga pijakan berfikir dan keinginan-keinginannya bersandar kepada aqidah Islamiyyah dalam setiap langkah hidupnya, agar jati diri dan tingkah laku Islami senantiasa melekat dalam dirinya.

Teladan Syakhshiyah Islamiyah

Kiranya tak perlu disangsikan lagi perihal kepribadian para shahabat dan tabi’in. Mereka berusaha dengan sekuat tenaga untuk melaksanakan setiap anjuran Rasulullah. Tak heran bila kita dibuat takjub oleh pengalaman mereka yang demikian konsisten, seperti batu karang di tengah gelombang kekufuran yang dahsyat menimpa. Dari perilaku shahabat-shahabat itu, kita pun bisa menilai betapa suksesnya Rasulullah membina dan menempa pribadi-pribadi mereka. Keberhasilan itu sampai kini tak tertandingi hingga semerbak harumnya masih dapat kita rasakan setelah empat belas abad berlalu dari masa beliau.

No comments:

Post a Comment