Setiap manusia bisa dilihat dari dua hal, pertama dari penampilan fisik, seperti halnya bentuk tubuh, wajah, cara berpakaian, dan lain sebagainya, yang kedua adalah tingkah laku. Rasullulah SAW bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak menilai atas rupamu serta harta kekayaanmu, akan tetapi dia hanya menilai hati dan amal perbuatanmu” (HR. Muslim dan Ibnu Majah dari Abu Hurairah)
Kepribadian sebenarnya perwujudan dari pola pikir (yakni bagaimana ia bersikap dan berfikir) dan pola tingkah laku (bagaimana ia bertingkah laku) dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Unsur kepribadian manusia yang pertama adalah Aqliyah. Kata Aqliyah berasalah dari bahasa Arab, yaitu dari kata aqal. Sedangkan pengertian aqal adalah kemampuan untuk memutuskan realita tertentu, baik yang berkenaan dengan perbuatan maupun benda, yang didasarkan pada pandangan hidup tertentu. Sehingga makna aqliyah didefinisikan sebagai cara yang digunakan untuk memahami atau mengambil kesimpulan tentang suatu realita atau fakta tertentu. Sehingga perbedaan aqidah seseorang maka akan terjadi pula perbedaan aqliyah. Apabila aqidah seseorang adalah Islam maka aqliyahnya-pun merupakan aqliyah Islam. Namun itupun dengan ketentuan bahwasannya aqidah tersebut dijadikan sebagai asas berfikirnya. Sebab, adakalanya seseorang secara zahir beraqidah Islam, tetapi aqidah tersebut tidak digunakan sebagai asas berfikirnya, maka aqliyah orang tersebut bukan aqliyah Islam.
Unsur kedua adalah Nafsiyah, berasal dari kata nafsu, sedangkan nafsu itu sendiri maknanya sama dengan hawa, yaitu kecenderungan yang ada didalam diri manusia untuk melakukan sesuatu, karena dorongan jasmani dan nalurinya berdasarkan standart tertentu (pada aqidah tertentu). Dengan demikian nafsiyah-lah yang menjadikan manusia terdorong melakukan perbuatan atau meninggalkannya. Sehingga nafsiyah seseorang itu dikontrol oleh pemahamannya terhadap sesuatu, atau dengan kata lain nafsiyah seseorang berdasarkan pada aqidahnya. Sehingga perbedaan aqidah pastilah akan menyebabkan perbedaan nafsiyah.
Kepribadian Islam merupakan kepribadian yang unik, dimana aqliyah dan nafsiyahnya berasal dari jenis aqidah yang sama, yaitu aqidah Islam. Meskipun kuat dan lemahnya kepribadian tersebut berbeda-beda antara satu orang dengan orang yang lain. Banyak contoh kekhasan kepribadian Islam yang digambarkan oleh kepribadian Rosulullah dan para sahabat. Kita bisa membacanya dalam buku 60 Karakteristik Sahabat Rosul.
Kepribadian Shahabat dan Tabi’in
Ciri khas syakhshiyah (kepribadian) pada sahabat dan tabi’in berbeda-beda sesuai dengan tingkatan ilmu, aqliyah, kemampuan hafalan Al-Quran dan hadits Rasul. Abu Ubaidah bin Zarrah adalah salah seorang shahabat yang demikian teguh keimanannya. Beliau pantas menduduki jabatan khalifah, sehingga Abu Bakar sendiri pernah mencalonkannya sebagai khalifah dan menunjuknya ketika terjadi musyawarah di Tsaqifah Bani Sa’idah. Hal ini mengingat keahlian dan keamanahannya. Abu Ubaidah termasuk salah seorang shahabat yang menguasai dan hafal Al-Quran seluruhnya. Beliau mempunyai sifat amanah sehingga Rasulullah memujinya:
“Sesungguhnyasetiapummatmempunyai orang yang terpercaya dan orang yang terpercaya dalam ummatku adalah Abu Ubaidah” (HR. Bukhari)
Selain itu beliau memiliki sifat terpuji, lapang dada dan tawadhu’. Sangat tepatlah bila Abu Bakar mengangkatnya sebagai pengelola Baitul Maal dan pada saat yang lain beliau dipercaya sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam.
Di kalangan shahabat terkenal pula seorang dermawan bernama Thalhah bin Zubeir, yang oleh Rasulullah pernah dijuluki Thalhah bin Khoir (Thalhah yang baik) dalam perang Uhud. Karena kedermawanannya ia juga mendapat gelar-gelar lain yang serupa, semisal Thalhah Fayyadl (Thalhah yang pemurah) pada saat perang Dzul ‘Aisyiroh, dan Thalhah Al Juud (Thalhah yang pemurah) dalam perang Khaibar. Beliau sering menyembelih unta untuk dibagikan kepada rakyat dan selalu menyediakan air untuk kepentingan umum. Beliau tak pernah lupa menyediakan kebutuhan orang faqir yang ada di sekeliling kaumnya (bani Tim) dan selalu melunasi hutang-hutang mereka.
“Setiap nabi mempunyai hawari (pendamping) dan hawariku adalah Zubeir” (HR. Ahmad dengan isnad Hasan dalam “Al Musnad” jilid I/89 dan Al Hakim “Al Mustadrak”, jilid III/462).
Beliau tidak pernah absen dalam setiap peperangan sejak masa Nabi Muhammad saw hingga masa Khalifah Utsman bin Affan. Demikian tinggi semangat jihadnya dengan lapang dada beliau menjual rumahnya untuk kepentingan jihad fi sabilillah. Rupanya andil yang tidak kecil inilah yang menyebabkan Zubeir bin Awwam termasuk salah satu dari enam orang yang berhak menduduki jabatan Khalifah menjelang berakhirnya masa Umar bin Khathab.
Figur lain di antara shahabat yang ditunjuk Umar sebagai calon Khalifah adalah Abdurrahman bin Auf. Beliau adalah seorang dermawan yang memberikan sebagian besar hartanya untuk kepentingan jihad fi sabilillah, Az Zuhri meriwayatkan:
“Abdurrahman bin Auf menanggung seluruh ahli Madinah. Sepertiga penduduknya diberi pinjaman, sepertiga lainnya membayar pinjamannya, sedangkan sepertiga sisanya diberikan sebagai pemberian” (Lihat “Si’ar A’lam An Nubala” karangan Imam Adz Dzahabi jilid I/88).
Sedangkan dalam buku MiyatulAulia karangan Abu Naim, disebutkan bahwa Abdurrahman bin Auf telah memerdekakan 30.000 orang hamba sahaya.
Selain itu, diantara yang layak menduduki jabatan Khalifah dan komandan pasukan adalah Khalid bin Said bin Ash. Beliau diangkat oleh Rasul sebagai Wali di San’a (Yaman), kemudian di masa Abu Bakar beliau diangkat sebagai komandan pasukan untuk membebaskan Syam. Sedangkan saudaranya yang bernama Abban, pada tahun 9 Hijriyah diangkat oleh Rasulullah sebagai Wali di Bahrain.
Di antara shahabat yang mempunyai keahlian di bidang pemerintahan dan perancangan tata kota adalah Utbah bin Hazwan. Beliau diangkat oleh Umar bin Khaththab sebagai Wali sekaligus menata kota Bashroh. Ada pula shahabat terkenal ahli pidato adalah Tsabit bin Qois, Abdullah bin Rawabah, Hasan bin Tsabit dan Ka’ab bin Malik. Dan tidak ketinggalan, shahabat Utsman bin Affan yang terkenal dengan sifat pemalunya, sampai-sampai Rasulullah bersabda:
“Sesungguhnya malaikat pun merasa malu kepadanya”
Shahabat Khabab bin Mudzir, terkenal dengan kecermatan pendapatnya sehingga digelari Dzir Ra’yi (intelektual).
Masih ada empat orang shahabat yang terkenal kecerdikannya, yaitu Muawiyah bin Abu Sufyan yang mempunyai jiwa tenang dan lapang dada, Amr bin Ash yang ahli memecahkan masalah pelik dan cepat berfikirnya, Mughiroh bin Syu’bah yang mampu memecahkan masalah besar dan genting, serta Ziyad yang ahli dalam masalah kecil maupun besar.
Selain itu di masa shahabat terdapat seorang shahabat yang mampu berbicara dalam seratus bahasa. Ini adalah kemampuan yang tak tertandingi oleh bangsa dan ummat yang lain hingga kini. Beliau adalah Abdullah bin Ubeir. Adapun shahabat Zaid bin Tsabit mempunyai keahlian dalam bidang qadla/kehakiman dan fatwa. Shahabat yang ahli dalam pengkajian kitab Taurat adalah Abdullah bin Amr bin Ash dan Abil Jalad Al Jauli.
Di masa shahabat, ilmu astronomi telah terkenal. Shahabat yang mashur di bidang ini adalah Rabi’ bin Ziyad, sampai-sampai Ibnu Zahar dalam bukunya Al Ishobah mengatakan: “Tidak ada seorangpun, baik itu Arab maupun bukan (‘ajam), yang lebih ahli dalam bidang ini daripada Rabi’ bin Ziyad.
Pada masa tabi’in tersebutlah Khalid bin Yazid bin Muawiyah yang ahli dalam berbagai cabang ilmu di kalangan Quraisy. Lebih spesifik lagi, keahlian beliau disebutkan dalam buku WafiyatAl-’Ayn karangan Ibnu Milikan jilid I/168.
“Beliau memiliki keahlian dalam teori kimia dan kedokteran”
Beliau pun banyak menerjemahkan literatur mengenai Astronomi, kedokteran dan Kimia (lihat Al Jahis, “At-Tibyan”, jilid I/126)
Banyak lagi shahabat yang memiliki kemampuan dan keahlian dalam berbagai disiplin ilmu. Tentulah apabila hendak kita sebutkan satu persatu memerlukan pembahasan yang sangat panjang.
Langkah Menyusun Kepribadian Islam
Untuk menyusun kepribadian Islam dalam diri seseorang, langkah pertama yang harus diintroduksikan dan ditanamkan pada diri seseorang adalah aqidah Islam.Langkah kedua, adalah bertekad menjadikan aqidah Islam sebagai landasan dalam berfikir menilai segala sesuatu dan dijadikan landasan dalam bersikap dan berperilaku.
Meningkatkan kualitas kepribadian Islam
Untuk mencapai kesempurnaan hidup, agar menjadi manusia yang lulus terbaik dalam ujian Allah SWT dalam kehidupan di dunia, seorang muslim tidak boleh hanya berhenti di tekad atau status telah memiliki kepribadian Islam. Tapi dia harus memiliki tekad untuk menyempurnakan dirinya menjadi mukmin yang muttaqin.
Oleh karena itu, langkah ketiga, seorang muslim itu membina cara berfikir Islaminya dengan meningkatkan pengetahuannya tentang ilmu-ilmu Islam, baik aqidah Islamiyah itu sendiri, Al Qur’an, As Sunnah, Tafsir ayat-ayat Al Qur’an, Fiqh, hadits, siroh, bahasa Arab dan lain-lain yang diperlukan untuk meningkatkan kualitas cara berfikirnya yang senantiasa menghubungkan segala sesuatu yang difikirkannya dengan informasi Islam.
Seorang muslim perlu menambah keyakinannya dengan tambahan pengetahuan tentang aqidah Islam dari Al Qur’an maupun As Sunnah. Dia akan menemukan Allah SWT menyatakan bahwa agama Islamlah yang diridloi oleh Allah dan mencari agama selain Alloh adalah kerugian yang besar
Untuk meningkatkan kualitas nafsiyahnya, kita mestilah hidup dalam suasana keimanan. Bergaul dengan orang-orang yang shaleh, memilih teman yang baik, serta menjauhi orang-orang yang berbuat maksiat. Atau dengan cara menciptakan suanan keimanan, dengan jalan memperbanyak amalan-amalan nafilah. Seperti membaca Alqur’an, Tadabur Alam, Menghayati dan mengkaji Siroh Rosul dengan tujuan untuk mencari tauladan, khusuk dalam sholat. Membaca doa dan qiyamul lail untuk meningkatkan ruhiyahnya. Sehingga ketika hubungan kita dengan Allah dekat, InsyaAllah kita akan merasa mudah untuk menjalankan Islam dalam kehidupan sehari-hari secara kaffah, tidak ada rasa keberatan sedikitpun dan tidak ada rasa malas lagi. Ini akan menjadikan sikap kita ketika mendengar perintah Allah akan berkata “Kami dengar dan kami Taat”.
Semoga bermanfaat….
(dikutip dari beberapa sumber di internet)….
No comments:
Post a Comment