Angka pengangguran di Indonesia pada Agustus 2008 mencapai 9,3 juta jiwa atau 8,9% dari total angkatan kerja. Survei yang dilakukan oleh Badan Statistik Indonesia ini menjelaskan bahwa pengangguran didominasi lulusan Sekolah Menengah Kejuruan sebesar 17,26% dari jumlah penganggur. Kemudian disusul oleh lulusan Sekolah Menengah Atas (14,31%), universitas (12,59%), diploma (11,21%), baru lulusan SMP (9,39%) dan SD ke bawah (4,57%).
Masalah pengangguran di Indonesia sendiri merupakan masalah yang tak kunjung ditemukan solusinya. Sepanjang 2009-2010, Kementerian Tenaga Kerja hanya mampu menurunkan 1,5% dari total pengangguran. Memasuki 2011 pengangguran di Indonesia diperkirakan ada pada angka 9,25% dari jumlah total penduduk.
Besarnya angka pengangguran memiliki implikasi sosial yang cukup besar. Semakin tinggi angka pengangguran, maka kestabilan ekonomi-sosial akan terancam dan contoh kerawanan sosial yang ditimbulkan adalah kriminalitas. Sangatlah tepat jika pemerintah menggunakan indikator pengangguran di negara sebagai tolak ukur keberhasilan pembangunan.
Ironis jumlah pengangguran ini mayoritas disebabkan oleh paradigma pemikiran generasi muda yang rata-rata ingin menjadi pegawai, sementara ketersediaan lapangan pekerjaan di sektor formal sangatlah terbatas. Sehingga, kreativitas dan daya kerja mereka terhambat oleh minimnya informasi luar. Padahal untuk membentuk kesejahteraan, sebuah negara harus memiliki 2% pengusaha mandiri.
Pemberdayaan pengangguran pun telah dilakukan dari tahun ke tahun. Namun hasil yang dituai tak sampai menuntaskan 10% dari jumlah penganggur. Belum lagi krisis yang dialami beberapa sektor pekerja yang menyebabkan banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja pegawai mereka (PHK).
Dari sekian pemaparan, yang terlibat dalam penanganan hanyalah pemerintah. Wajar saja jika masalah ini tidak segera tertuntaskan. Masyarakat mampu, mahasiswa, dan kalangan terpelajar lainnya bahkan memiliki kontribusi yang begitu besar.
Sosialisasi Program Pemerintah
Sosialisasi merupakan masalah utama dari sebuah pergerakan pembangunan. Kita tidak tahu ada berapa banyak masyarakat di daerah pedesaan yang belum terjamah tangan pemerintah untuk program pengentasan. Contohnya, selama ini banyak sekali tayangan televisi yang melakukan sosialisasi melalui cara yang interaktif, namun untuk penduduk di wilayah yang jauh dari ketersediaan listrik hal itu tidak akan tersampaikan secara maksimal.
Di sinilah peran mahasiswa seharusnya dibutuhkan. Mahasiswa cenderung memiliki ruang gerak yang lebih bebas. Melalui organisasi kampus yang terorganisir, mahasiswa bisa mendatangi tempat-tempat yang sekiranya memang perlu dikunjungi kemudian melakukan sosialisasi sesuai dengan program-program yang telah disusun. Mengacu pada pola gerakan yang lebih luwes dan fleksibel, diharapkan bisa memberi kontribusi terbaik.
Pendidikan dan Pelatihan
Pengangguran dan kemiskinan adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Tingkat pendidikan yang rendah memicu semakin tingginya jumlah pengangguran karena keterbatasan kemampuan bekerja. Untuk sektor industri seperti pabrik-pabrik pengolaan tekstil misalnya, mereka membutuhkan tenaga pikir dan kerja yang besar. Tenaga pikir di sini lebih terspesialisasi kepada golongan terpelajar, sedangkan tenaga kerja ini ditujukan kepada ‘tenaga kuli’ yang tingkat pendidikannya cenderung rendah, tenaga tersebut bisa didapatkan secara acak di kalangan masyarakat. Masalahnya, sebuah industri tak bisa semudah itu melakukan rekrutmen pegawai. Setidaknya ada kemampuan khusus yang harus dimiliki calon pekerja, dan masyarakat yang benar-benar berada pada kondisi umum tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk bekerja karena terbatasnya keterampilan.
Dari sinilah mahasiswa dapat membantu memberikan pelatihan sederhana yang sesuai dengan program pendidikannya. Sedikit-dikitnya informasi yang diberikan, itu sudah sangat besar manfaatnya bagi mereka yang membutuhkan pencerahan pola pikir. Apa lagi, kesan inspiratif cenderung lebih besar ditampakkan oleh mahasiswa sebagai kaum yang terpelajar.
Pengadaan program ini selain bermanfaat bagi objek, juga sebagai investasi kemampuan berbaur dengan dunia luar bagi mahasiswa itu sendiri. Semangat bergerak akan merangsang jiwa pembangunan dan dapat mengecilkan peluang menjadi pengangguran karena sudah bisa melatih dan menunjukkan kemampuannya secara konkrit.
Pembinaan dalam Penggunaan Modal
Berbagai pengamat ekonomi menyatakan sepakat bahwa tolok ukur kesuksesan Bantuan Langsung Tunai (BLT) masih belum jelas. Program pengentasan kemiskinan tersebut kerkesan gagal karena cenderung mendidik masyarakat untuk ‘malas’ bergerak. Sebenarnya bukan program ini yang gagal, melainkan pelaksanaannya. Tidak adanya pembinaan harus diakui sebagai salah satu penyebab kegagalan. masyarakat hanya menafsirkan bahwa pemerintah akan membiayai hidup mereka,mereka hanya menerima, mereka tidak dibina bagaimana memperlakukan kehidupan mereka sendiri.
Mari kita kaitkan masalah BLT dengan pemberdayaan pengangguran yang selanjutnya. Modal memang tonggak utama pembangunan, dan beruntunglah dari sekian banyak program pemerintah tidak sedikit yang dicanangkan untuk permodalan masyarakat, misalkan sistem kredit atau koprasi rakyat. Namun, program itu tidak akan jauh dari BLT jika tetap tidak ada pembinaan dari pencanang program (dalam hal ini pemerintah). Oleh sebab itu, di samping memberikan bantuan materi, kesadaran memberi dukungan pembinaan sangat penting. Pemberdayaan akan menghasilkan daya maksimal jika pemberdaya bergerak sinergis terhadap pihak yang didayakan.
Pada akhirnya, semua sektor akan berjalan dalam satu pola struktural. Pengentasan masalah pengangguran yang sudah dari dulu dilakukan akan memberi hasil lebih maksimal. Semoga di akhir nanti, negara kita mampu menjalani pergerakannya dengan baik, bersama seluruh kalangan.
No comments:
Post a Comment