Ini bukanlah satu-satunya jalan yang Allah berikan padaku. Masih ada banyak hal ini dan itu yang seharusnya bisa kusampaikan padanya. Kusampaikan rasa cintaku yang sangat dalam ini. Padanya yang tak pernah sungkan menghapuskan tetesan peluh, menimang, menjagaku dengan seluruh jiwa raganya.
Berganti tahun sejak aku pertama kali terlahir di dunia ini. Di mana terjadi bermacam-macam pembicaraan antara aku, Allah, dan malaikat di surga. Aku bertanya kian ke mari mengenai dirinya, tentang bagaimana hidupku nanti di dunia, siapa yang akan menjagaku, bagaimana rupa penjagaku, dan bagaimana ia mengajariku untuk berdoa pada Allah.
Hingga kini aku tumbuh besar. Aku yang ini terdiri dari berbagai bentuk. Aku yang gemar menangis dan merengek, aku yang gemar bernyanyi, aku yang gemar memasak, aku yang gemar mencangkul, menari, bekerja di kantor, juga aku yang tengah menuntut ilmu di sekolah. Aku tak pernah lupa bahwa aku ada di sini karena kehendak Allah.
Sayangnya...
Aku sering lupa bahwa kebisaanku dalam banyak hal adalah hasil dari besarnya pengorbanan yang ia lakukan terhadapku. Aku lupa bagaimana dulu ia berkata, “Biarkan aku mati, asalkan anakku selamat.” Aku lupa bagaimana dulu ia menjerit sekencang-kencangnya demi kehidupanku. Aku lupa bagaimana ia menahan keluh kesahnya karena aku rewel dan tidak mau tidur di malam hari. Aku juga lupa bagaimana ia menukar rasa lelahnya dengan kebahagiaan begitu aku bisa menapakkan kakiku untuk berjalan pertama kali.
Kemudian aku ingin bisa bersepeda seperti teman-temanku. Aku merengek minta dibelikan sepeda. Ia membelikannya. Aku senang. Aku lantas mencoba namun jatuh. Aku merengek minta diajari. Ia mengajariku. Aku senang. Aku jatuh lagi, merengek lagi, jatuh lagi dan lagi. Namun ia TETAP bersabar menuntun sepeda sedang aku di atasnya.
Kalau bukan karena secarik kertas bernama ijazah, mungkin aku juga tidak ingat bagaimana ia dengan senang hati menemani hari-hari awalku di sekolah. Ia membiarkan cucian yang menggunung, halaman yang kotor, juga sayur-mayur yang belum dimasak demi menemaniku. Begitupun sampai di rumah hal-hal itu tetap menjadi tanggungannya.
Aku pernah ditanyai teman tentang dirinya. Waktu itu aku malu untuk menjawab. Aku malu memperkenalkannya pada temanku. Saat itu aku tidak tahu—
--apa yang sebenarnya membuatku malu. Dirinyakah? Rupanyakah? Pekerjaannyakah?
Hingga suatu hari ia mendengar percakapanku dengan teman, lalu ia pergi dan menangis sendiri dalam hati. Ia merasa hatinya terluka hebat setelah kusayat sedemikian rupa.
Namun, biar begitu ia tidak berubah. Ia tetap menunjukkan rasa cintanya yang besar terhadapku.
Waktunya sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Aku merasa sudah cukup besar untuk membawa beban hidup. Aku mulai mendoktrin diriku sendiri dengan ajaran Aku-Sudah-Besar-Jadi-Lepaskan-Aku. Bertahun-tahun aku begitu. Aku membisu untuk tidak menangkap rasa perhatian dan kekhawatiran dari dirinya. Aku terlalu menganggap bahwa apa yang dia lakukan tidak penting. Saat itu, aku benar-benar merasa sudah bisa hidup sendiri.
Ia tahu begitu, dan membiarkan. Ia sudah terlalu paham jika sebenarnya aku hanyalah titipan Allah. Tapi, lagi-lagi ia menggelengkan kepala dan kembali pada prinsipnya. Ia kembali menjadi sosoknya yang selalu ingin merengkuhku, membuatku sadar betapa besarnya keinginannya untuk memilikiku—meski ia tahu aku bukan miliknya.
Aku sudah bisa berpikir logis dengan usiaku yang terus bertambah. Hal ini membawaku pada sebuah keputusan untuk pulang. Aku ingin pulang. Benar-benar ingin pulang pada jalan kasih sayangnya. Aku ingin memeluk, mencium, dan membahagiakannya. Aku tidak mau menunggu sampai ia menutup mata dan hati untuk melihat kepulanganku padanya.
Dan—dengan segala doa yang terpanjat dari hatiku yang manangis ini, aku turut bekata, “Bu, anakmu sudah besar.”
Berganti tahun sejak aku pertama kali terlahir di dunia ini. Di mana terjadi bermacam-macam pembicaraan antara aku, Allah, dan malaikat di surga. Aku bertanya kian ke mari mengenai dirinya, tentang bagaimana hidupku nanti di dunia, siapa yang akan menjagaku, bagaimana rupa penjagaku, dan bagaimana ia mengajariku untuk berdoa pada Allah.
Hingga kini aku tumbuh besar. Aku yang ini terdiri dari berbagai bentuk. Aku yang gemar menangis dan merengek, aku yang gemar bernyanyi, aku yang gemar memasak, aku yang gemar mencangkul, menari, bekerja di kantor, juga aku yang tengah menuntut ilmu di sekolah. Aku tak pernah lupa bahwa aku ada di sini karena kehendak Allah.
Sayangnya...
Aku sering lupa bahwa kebisaanku dalam banyak hal adalah hasil dari besarnya pengorbanan yang ia lakukan terhadapku. Aku lupa bagaimana dulu ia berkata, “Biarkan aku mati, asalkan anakku selamat.” Aku lupa bagaimana dulu ia menjerit sekencang-kencangnya demi kehidupanku. Aku lupa bagaimana ia menahan keluh kesahnya karena aku rewel dan tidak mau tidur di malam hari. Aku juga lupa bagaimana ia menukar rasa lelahnya dengan kebahagiaan begitu aku bisa menapakkan kakiku untuk berjalan pertama kali.
Kemudian aku ingin bisa bersepeda seperti teman-temanku. Aku merengek minta dibelikan sepeda. Ia membelikannya. Aku senang. Aku lantas mencoba namun jatuh. Aku merengek minta diajari. Ia mengajariku. Aku senang. Aku jatuh lagi, merengek lagi, jatuh lagi dan lagi. Namun ia TETAP bersabar menuntun sepeda sedang aku di atasnya.
Kalau bukan karena secarik kertas bernama ijazah, mungkin aku juga tidak ingat bagaimana ia dengan senang hati menemani hari-hari awalku di sekolah. Ia membiarkan cucian yang menggunung, halaman yang kotor, juga sayur-mayur yang belum dimasak demi menemaniku. Begitupun sampai di rumah hal-hal itu tetap menjadi tanggungannya.
Aku pernah ditanyai teman tentang dirinya. Waktu itu aku malu untuk menjawab. Aku malu memperkenalkannya pada temanku. Saat itu aku tidak tahu—
--apa yang sebenarnya membuatku malu. Dirinyakah? Rupanyakah? Pekerjaannyakah?
Hingga suatu hari ia mendengar percakapanku dengan teman, lalu ia pergi dan menangis sendiri dalam hati. Ia merasa hatinya terluka hebat setelah kusayat sedemikian rupa.
Namun, biar begitu ia tidak berubah. Ia tetap menunjukkan rasa cintanya yang besar terhadapku.
Waktunya sekolah ke tingkat yang lebih tinggi. Aku merasa sudah cukup besar untuk membawa beban hidup. Aku mulai mendoktrin diriku sendiri dengan ajaran Aku-Sudah-Besar-Jadi-Lepaskan-Aku. Bertahun-tahun aku begitu. Aku membisu untuk tidak menangkap rasa perhatian dan kekhawatiran dari dirinya. Aku terlalu menganggap bahwa apa yang dia lakukan tidak penting. Saat itu, aku benar-benar merasa sudah bisa hidup sendiri.
Ia tahu begitu, dan membiarkan. Ia sudah terlalu paham jika sebenarnya aku hanyalah titipan Allah. Tapi, lagi-lagi ia menggelengkan kepala dan kembali pada prinsipnya. Ia kembali menjadi sosoknya yang selalu ingin merengkuhku, membuatku sadar betapa besarnya keinginannya untuk memilikiku—meski ia tahu aku bukan miliknya.
Aku sudah bisa berpikir logis dengan usiaku yang terus bertambah. Hal ini membawaku pada sebuah keputusan untuk pulang. Aku ingin pulang. Benar-benar ingin pulang pada jalan kasih sayangnya. Aku ingin memeluk, mencium, dan membahagiakannya. Aku tidak mau menunggu sampai ia menutup mata dan hati untuk melihat kepulanganku padanya.
Dan—dengan segala doa yang terpanjat dari hatiku yang manangis ini, aku turut bekata, “Bu, anakmu sudah besar.”
No comments:
Post a Comment