Masih adakah tempat yang mau menampung kami?--Bagaimana rasanya harus menelanjangi kaki sambil berjalan mondar-mandir memungut sampah, naik-turun angkot untuk nyanyi, atau bahkan hujan-hujanan jadi ojek payung? Hah, susah membayangkannya! Yap, memang susah. Apalagi mengalami sendiri.
Panas-panas, haus, lapar, eh sewaktu ada kesempatan nyanyi di angkot malah dibentak-bentak karena bertampang kusut. Belum lagi tuntutan setelah 'hari itu', kalau hari itu nggak dapat uang berarti dia (dan mungkin beberapa orang di sekitar dia) nggak akan makan sampai dua hari.Masih bolehkah kami makan hari ini?--Nasi yang dibeli dari hasil memungut sampah hari ini sudah cukup untuk ganjal perut sampai besok sore. Tapi... ada dua adik di rumah yang nggak tahu sudah makan atau belum. Katanya, bapak dan ibu juga nggak ada uang buat beli makan hari ini--dagangan mereka digusur polisi. Ya sudah... biar dibagi saja sebungkus nasi tanpa lauk ini menjadi lima. BRUK!!! Sakit! Badan kecil tersungkur di atas aspal karena terdorong seorang bapak yang buru-buru. Ah, bukan rasa sakit yang harus disesali, nasinya! Nasinya sudah jelek terinjak-injak sepatu mahal dari bahan kulit. Tengok kanan-kiri, nggak ada yang bantu.
Satu ditambah satu sama dengan ayo cari uang!--Nggak sempat lagi pakai seragam, menata buku, dandan pakai minyak wangi. Bisa saja sih sekolah, tapi siapa nanti yang cari uang untuk makan?
Mereka bilang kami tak taat peraturan.--Lima teman ditangkap polisi dan yang lain berhasil kabur. Masih ada bekas darah kering yang tadi sempat keluar karena jatuh tersandung batu. Napas terputus-putus lagi sakit, berdebar-debar, mengendap-endap di balik tembok warung yang sepi, semoga tidak tertangkap! Sampai di gang dekat rumah, semua menjadi asing. Nggak ada lagi tempat yang biasa dipakai untuk bermain karet dan lompat tali bersama adik-adik dan teman. Semuanya digusur oleh benda besar rakus itu.
Menyaksikan kematian bagi kami itu seperti makan, tiga kali sehari--Tadi pagi bapaknya Asep meninggal karena ditembak petugas saat ketahuan mencuri. Lalu siangnya si Agus yang OD. Beberapa menit terakhir, bapak yang gantung diri karena nggak kuat hidup luntang-lantung. Kadang sempat berpikir untuk ikut bapak, tapi melihat ke belakang, ternyata tanggungan masih banyak.
Kami hidup dari sisa-sisa makanan--Ojek payung, ngamen, menjual koran, memungut sampah, apalagi ya yang belum? Hm... ternyata belum cukup untuk menebus obat si bungsu. Untuk makan saja harus menunggu kiriman dari warung nasi padang di pojok gang itu.
Mereka yang duduk-duduk itu, siapa mereka?--Pandangan mata mereka kaku dan dingin. Takut, tapi harus maju demi orang-orang di rumah. Bermodal nekat dan rasa malu yang nggak tanggung-tanggung akhirnya maju walaupun hanya dapat sekoin rereceh dan tatapan sinis. Dilihat dari buku-buku tebal yang mereka bawa, oh, rupanya 'calon' pahlawan kami.
Masih adakah ruang kosong untuk kami?
Masih adakah sisa nasi yang bisa kami makan hari ini?
Masih bolehkan kami tinggal walau semenit lagi kereta akan pergi?
Masih sempatkah kami mengabdi untuk negeri?
Masih pantaskah kami membenah diri?
Siapa yang mau mendengar seruan hati kami?
Siapa yang mau merelakan barang sebentar saja waktunya untuk membela tenggorak ini?
Siapa????? Kadang kami lelah untuk bertahan, hujan, panas,injakan, tamparan, cacian, tak pernah hilang dan terus tertuju pada kami.
----------------------------------
No comments:
Post a Comment