(Sebuah Otokritik, Antara Fitrah dan Kelemahan)
Jendela 1
Dalam suatu kajian umum LDK di masjid, barisan akhwat dan ikhwan dipisahkan oleh sebuah hijab yang terjulur dari tempat imam sampai ke belakang. Saat itu pembicara (yang kebetulan ketua LDK itu sendiri) sedang membahas sebuah potret kehidupan mahasiswa muslim. Ketika kajian tengah berlangsung, beberapa dari pihak ikhwan berkomentar antar sesamanya karena suara gaduh yang bersumber dari balik hijab.
“Akh, kok berisik?” kata ikhwan 1 kepada rekannya.
“Biasa sih, kalau materinya tentang pergerakan gini mah akhwat memang yang sensitif,” jawab ikhwan 2.
“Bukannya setiap ada kajian atau rapat selalu berisik yak?”
Ikhwan 2 tersenyum namun tetap fokus terhadap pembicaraan sang ketua. “Ah, namanya juga perempuan.”
Jendela 2
Siang hari menjelang sore, sebuah LDK mengadakan rapat dadakan terkait masalah defisit dana organisasi. Saat itu seluruh kebinet dihadirkan untuk menemukan solusi yang benar-benar solutif. Sayangnya, tidak berapa lama setelah rapat dimulai, keadaan memanas. Terjadi perdebatan antara Al Ukh dengan Kadiv. Sampai akhirnya Al Ukh tersebut menangis karena tidak tahan terhadap kondisi rapat.
Rapat selesai, Al Ukh yang menangis tadi sudah tenang dan bercakap-cakap dengan sahabatnya yang lain. Seorang Al Akh tidak sengaja melihat mereka dan menggeleng-gelengkan kepala kemudian melenggang hingga sampai di depan masjid.
“Si Fulanah sudah tenang. Emosi sekali dia tadi.”
Salah seorang sahabat malah bergurau. ”Ah, namanya juga perempuan. Pemikirannya ada di hati.”
Jendela 3
Beberapa kelompok akhwat terlihat sangat terburu-buru memasuki ruang kuliah, mereka memburu waktu karena ada beberapa urusan, untung belum ada dosen. Seorang Al Ukh duduk dengan gusar di sebelah sahabat dekatnya.
“Dari mana?” tanya si sahabat.
Al Ukh menjawab dengan terengah-engah, “Tadi ke pasar, beli bahan-bahan buat iftor jama’i lusa.”
“Empat jam? Kampus sama pasar kan deket.”
“Mampir dulu ke kosan si Fulanah. Istirahat, belanjaannya banyak banget.”
Si sahabat menggeleng-gelengkan kepalanya keheranan. “Ngapain aja di kosan?”
Al Ukh mencubit lengan sahabatnya. “Ah, namanya juga perempuan. Istirahat sepuluh menit, sampingannya setengah jam.”
Jendela 4
Terjadi diskusi ringan antar anggota sebuah kelompok praktikum, terdiri dari 3 akhwat dan 2 ikhwan. Diskusi tersebut membahas tentang pengambilan data yang terpotong waktu maghrib. Dari pihak ikhwan mengusulkan untuk menunda agar pengambilan data dilakukan besok karena sudah malam. Namun, pihak akhwat menginginkan agar pengambilan data harus selesai malam itu juga. Akhirnya pihak ikhwan mengalah.
Setelah sholat maghrib dan isya’, pihak ikhwan sudah berada di laboratorium. Seorang Al Ukh datang.
“Afwan jiddan yak, kayaknya mending besok aja ini dilanjutinnya.”
Pihak ikhwan terheran-heran dengan keputusan yang berbalik itu. Seorang Al Akh membalas, “Lhoh, anti gak bisa gitu dong. Katanya tadi minta hari ini selesai. Kenapa seolah mengingkari komitmen? Gak bisa, ana ketua kelompok di sini, malam ini harus selesai pengambilan data, besok tinggal tugas bikin laporannya.”
Al Akh yang lain malah tersenyum-senyum sambil bergumam, “Ah, namanya juga perempuan.”
---
Kisah-kisah di atas hanyalah beberapa dari realita yang ada di sekitar kita. Ketika kita (perempuan) dihadapkan pada berbagai kondisi, tak jarang kita mengalami gejolak naluri yang tak terkendali. Malangnya, itu sering tidak disadari sebagai kelemahan, justru kewajaran dengan mengucapkan ah, namanya juga perempuan.
Mengapa disebut kelemahan?
Pada Jendela 1 diceritakan sekelompok akhwat yang belum bisa menjaga keprofesionalitasan ketika rapat. Ini mungkin berlebihan, namun apakah itu bisa dijadikan pembenaran sedangkan kita tahu bahwa menjadikan kondisi kondusif bukan hanya kewajiban laki-laki? Bagaimana manajemen diri kita sebagai perempuan? Apakah kita terlalu menutup hati untuk selalu ingin dimaklumi tanpa mau mengoreksi? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang sebenarnya sangat mengkritik kredibilitas kita sebagai perempuan. Itu semua bukti betapa masih ada hal-hal yang menjadi kelemahan.
Hakikat Perempuan dalam Islam
Islam menempatkan perempuan pada posisi yang sejajar dengan laki-laki. Dalam hal beribadah mereka sama-sama memiliki kewajiban yang sama. Perempuan dalam Islam pun menempati posisi terhormat sebagai saudara kandung dan juga partner bagi laki-laki dalam seluruh dimensi kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mu'min, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta`atannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu`, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Al Ahzab: 35)
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma`ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan mereka ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (At Taubah: 71)
Kedua ayat di atas menjelaskan kepada kita bahwa kedudukan perempuan dalam Islam setara dengan laki-laki, perempuan dan laki-laki saling menolong di berbagai lapangan kebajikan tanpa memandang perbedaan natural mereka. Sehingga ketika laki-laki diharuskan tegas dalam membuat keputusan, kita pun harus bisa melakukannya dalam kondisi tertentu. Ketika laki-laki diharuskan memegang komitmen dan tanggung jawab, kita pun memiliki kewajiban yang sama untuk segala hal. Jangan sampai kita terkurung dalam pola pikir yang keliru dan berharap selalu dimaklumi.
Perempuan dan Perjuangan
Kita mengenal beberapa tokoh perempuan yang begitu hebat di masa lalu. Di mana perjuangan mereka tak sampai hati terlupa oleh sejarah.
Contoh perempuan luar biasa yang pertama adalah istri Ayahanda Ibrahim, Ibunda Hajar. Saat Ibrahim meninggalkan Hajar di lembah tak berpenghuni, menggendong bayi yang masih menyusu, dan hanya dibekali dengan setangguk air. Terbayangkah oleh kita bagaimana rasa takut dan gejolak hati beliau? Tanpa siapa-siapa, tanpa bekal, tanpa tangis.
Beliau tetap sabar, terlebih ketika Ibrahim tak menoleh saat Hajar menanyainya, “Apakah Allah yang menyuruhmu?” Ibrahim membenarkannya. Apa jawaban Hajar?
“Kalau begitu Ia tak akan menyia-nyiakan kami.”
Kemuliaan atas sabar yang dimiliki Hajar berlanjut ketika anaknya, Ismail, hendak disembelih oleh Ibrahim atas perintah Allah. KATAKAN! Dari mana lagi beliau mendapat ketegaran luar biasa???
Berikutnya bisa dilihat dari para shahabiyah. Adalah Khodijah, yang mengorbankan segala apa yang ia miliki (harta, keikhlasan, tenaga) demi membantu Rosulullah menjalankan amanahnya sebagai seorang rosul. Bisakah kita hitung jumlah kesabaran Khodijah selama menemani dan menyemangati Rosulullah?
Kemudian Aisyah yang memiliki kecerdasan hati dan pikiran, sebagaimana beliau tak pernah merasa kekurangan akan kasih sayang Rosulullah meskipun bukan satu-satunya istri. Tahukah bahwa kecemburuan Aisyah luar biasa? Tapi beliau tidak serta merta menikmati itu, beliau bersabar dan tak pernah mengeluh akan perjuangannya bersama Rosulullah dan para shahabiyah lain.
Dan masih banyak lagi perempuan pejuang yang tidak pernah terlupakan sumbangan motivasi untuk para muslimah. Di mana mereka memiliki keteguhan yang jauh lebih besar daripada kita yang hidup di zaman serba mudah ini. Kita tak perlu lagi ikut berperang, kita tak perlu lagi ditinggalkan di dalam gua, kita tak perlu lagi merasakan dinginnya malam dengan kesendirian. Yang kita perlukan itu BANGKIT dan BERSABAR!!!
Semoga dengan bekal tauhid dan akidah yang sedikit tak menjadikan kita statis di tempat tanpa ada keinginan mengajak. Justru dengan sedikitnya pengetahuan kita akan termotivasi untuk kembali mencari ilmu sebanyak-banyaknya. Sungguh, ilmu yang diberikan Allah pada kita tidak sedikit. Mari bersama-sama menjadi muslimah yang inovatif, inspiratif, edukatif, dan berperan sebagai sandaran bagi para sahabat.
Salam cinta dan ukhuwah!!! Waallahu'alam bishowaf
No comments:
Post a Comment